.
Beberapa waktu yang lalu medio Juni, saya mengikuti Studium General Internasional Dr. Peter Suwarno, P.h.D, seorang dosen Universitas Arizona Amerika Serikat di lantai 3 aula Gd. D Fisip Unila. Acara ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi Universitas Lampung. Judul kuliahnya “Religious vs Civil Discourse in The Deminishing Indonesian Public Sphere”. Lumayan ramai dengan audiens seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unila berbagai angkatan. Karena kuliah umum itu berisi gagasan-gagasan mendasar tentang sistem komunikasi dan perspektif kebenaran relatif, maka harus dicermati. Apalagi, sang Doktor secara implisit menyatakan dukungannya terhadap kebenaran relatif non-religius, perspektif khas liberalisme.
Gagasan penting yang diusung oleh sang Doktor tersebut adalah rencana pengembangan studi ilmu komunikasi berbasis Civil Discourse. Ia berkata tentang masalah ini:
“Untuk mengembangkan hubungan antarmanusia yang efektif, toleran dan komunikatif, kita harus mewujudkan sebuah public sphere (lihat Habermas; Bourgeouise, Liberal & Mass Public Sphere). Dimana tidak ada dominasi antara individu yang satu dengan yang lain, tak ada truth claim yang dipaksakan antara pemeluk agama dan entitas sosial tertentu.” Lebih lanjut dia mengatakan, tidak boleh ada simbol-simbol religius yang mendominasi area publik. Karena menurutnya hal itu menyulut konflik. Melalui speech accomodation, diharapkan komunikasi bebas dari nilai dan intervensi (free value). Sontak, akhwat-akhwat aktivis dakwah kampus langsung menyanggah karena merasa disudutkan, jilbab sebagai kewajiban disebut hanya sekadar simbol.
Dengan kata lain, sang Doktor berpemahaman sekular, tidak menginginkan kehidupan agama mengatur interaksi individu dalam masyarakat. Peran agama dikerdilkan hanya sebatas ritual privat. Menurut sang Profesor, seseorang tidak berhak memaksakan keyakinannya kepada orang lain dan merasa paling benar. Sebab, kebenaran itu sendiri tidaklah absolut, melainkan relatif. “Siapa yang mampu meyakinkan orang lain, itulah kebenaran!” katanya.
Mendengar kuliah sang Doktor ini, pada satu sisi saya bersyukur, bahwa pihak fakultas telah berhasil menghadirkan seorang dosen dari universitas asing yang capable di bidang ilmu komunikasi. Kerjasama dan hubungan baik antar universitas di bidang keilmuan harus dikembangkan lebih jauh. Harapan sang doktor untuk terciptanya suatu kehidupan masyarakat yang damai, komunikatif dan jauh dari konflik harus kita sambut baik. Tetapi, sebagai seorang Muslim, kita wajib untuk bersikap kritis dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Jika kita mengkritik gagasan sang Doktor tersebut mengenai kebenaran relatif, tentu kita juga berharap agar sang Doktor menyadari bahwa gagasannya tidak sepenuhnya benar. Bahkan, dari sudut pandang pemikiran Islam, gagasan pengembangan faham liberal dan studi sistem komunikasi berbasis relativisme sekular, sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Menarik bila saya paparkan sebuah pemikiran Hamid Fahmy Zarkasy yang mengkritisi relativisme; “Semua adalah relatif” (all is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle atau Bill Kovach, misalnya, rela memilih kebenaran daripada persahabatan.
Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernism lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum munkaran…dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.
Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat setan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.
Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.
Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.
Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Kristen missionaries dan 27% atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin postmo pun berubah:“Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katolik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.
Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Tak ada yang mengerti secara absolut maksud Tuhan dalam kitab suci menurut pemahaman hermeneutis. Kalau begitu, untuk apa adanya Rasulullah Saw sebagai Nabi yang menjelaskan kepada umatnya? Benarlah pepatah para hukama ’al-Nas a‘da ma jahila, manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya (www.hidayatullah.com).
Maka, sudah seharusnya, ketika kita ingin mengembangkan suatu sistem teori atau pendidikan, maka kita pun kemudian mendasarkan kepada Islam. Menurut pikiran saya, sebagai seorang muslim, sebaiknya studi apa pun yang kita kembangkan–apakah studi ilmu komunikasi, kedokteran, studi ekonomi, studi politik, dan sebagainya–seyogyanya tetap berdasarkan kepada aqidah dan syariah Islam.
Inilah perspektif Islam dalam melihat kebenaran. Jika prinsip Islam ini hendak digusur dari pengajaran ilmu komunikasi religius—dan digantikan dengan perspektif Civil Discourse dan relativisme sekular seperti gagasan sang Doktor tersebut—maka pada hakikatnya, itu sama saja dengan meracuni ilmu komunikasi itu sendiri. Mungkin sang Doktor tidak sadar akan kekeliruan dan dampak dari gagasannya. Mungkin juga dia sadar dan sengaja mempromosikan gagasan tersebut, karena menganggapnya sebagai hal yang baik dan benar.
Kita berharap, mudah-mudahan, Jurusan Ilmu Komunikasi tidak tergoda oleh gagasan sang Doktor dari Arizona tersebut, yang ingin mencampurbaurkan antara ilmu dan tsaqafah, antara ilmu komunikasi yang independen dengan sistem komunikasi liberal. []
Rio AN, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lampung, 25 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar