.
Emak, kadang kadang aku berpikir kenapa aku dilahirkan. Aku dapat menggerakkan jari jari tanganku dengan bebas. Menyusuri lapangan berumput hijau becek untuk bermain bola di belakang rumah Pak Giman. Bermain petak umpet dan melempar batu memecahkan jendela tetangga yang buram. Menggenggam jemari kehidupan yang tak pernah kualami sebelumnya. Aku Ada!
Apa artinya semua ini Emak. Yang kutahu adalah aku tak pernah mengerti. Semenjak kecil engkau merawatku hingga aku beranjak dewasa dengan kasih sayang dan tanpa pamrih. Dimarahi kepala sekolah hingga digebuki aparat saat orasi waktu di bangku kuliah. Dikejar kejar polisi pamong praja saat menjual gorengan, rokok dan sepasang sepatu milik sendiri. Demi mencari sesuap nasi, dan mengais demi biaya pendidikan yang menggila. Emak, doa dan tangismu menyatu layaknya serpihan mutiara yang menyertaiku, "Supaya kamu itu jadi orang!" katamu Emak.
Ada yang bilang hidup ini hanya sandiwara Emak. Hidup ini sebuah naskah besar dan kita menjalani peran masing masing. Adakah kehidupan sebelum ini Emak? Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada mengapa ada kejahatan? Bukankah tanah yang kita jejaki ini seharusnya indah? Jangan kau prihatin Emak. Walau kita makan sekali sehari dalam gubuk yang keropos dan lumutan, tokh kita bisa melihat bintang yang tersenyum mengintip di balik atap di kejauhan. Mencari kehangatan dari rayuan seruling bambu dan rengekan gitar tua. Bernyanyi lagu tentang Bapak yang lebih dahulu bertemu bintang.
Kini aku percaya seutuhnya Tuhan itu ada Emak. Kita ada karena Dia ada. Bukankah manusia itu sangat rapuh? Aku baru menyadari ketika melihat dengan mata hati sendiri Emak Aku melihat lebih jelas sekarang. Aku buta. Ya, aku buta sekarang, Emak. Mereka telah mengambil penglihatanku. Tapi aku bersyukur Emak, kebenaran telah terlihat jelas sekarang. Penguasa berpihak pada Pengusaha. Dijilat dan menjilat demi memenuhi syahwat kehendak untuk berkuasa. Aku minta maaf Emak. Gerobak sumber penghidupan milikmu yang digunakan untuk berjualan gorengan dirampas. Aparat memang kurang ajar Emak. Apa yang salah? Bukankah mereka sama seperti kita? Hanya menjadi budak kapitalisme dan objek penindasan.
Aku juga ingin hidup mapan dan sejahtera Emak. Sudah cukup sosialisme. Aku bosan hidup miskin. Aku ingin semua orang menjadi kaya agar segala kemalangan sirna di muka bumi ini. Aku sedih melihat engkau, Emak. Peluhmu dan tangismu yang menitik melahirkan malaikat. Malaikat yang menyemangati dalam setiap relung kehidupanku. Memendarkan cahaya dalam setiap jejak langkah yang kulalui. Namun jahanam tak berguna sepertiku tak kuasa melawan tindakan tirani. Dimanakah nilai nilai kemanusiaan yang mereka teriakkan Emak? Akupun tak mengerti. Mereka datang saat kampanye sambil berjualan kecap. Hanya datang saat mereka membutuhkan kita, Emak. Setelah itu mencampakkan kita seperti kulit pisang, yang dibuang dalam setumpuk ilalang.
Aku takut sekali Emak. Jangan pula kau terbuai oleh merdunya Demokrasi. Mereka membunuh atas nama kebebasan, Emak. Privatisasi dibalik hak asasi, menginjak halal-haram. Memperkosa martabat demi kesetaraan. Menghamba uang, akar segala kejahatan. Yang kuat akan bertahan hidup, dan yang lemah seperti kita Emak, akan mati. Hidup di dunia judi. Pragmatis membebek praktisi tanpa menyelami kebenaran teori. Memecah raga dan ketulusan jiwa. Menghirup semerbak pembantaian dan genosida. Tanpa sadar terhadap Dia yang memegang tiap tiap jiwa mereka. Hanya seketika saat meregang nyawa.
Banyak pertanyaan tanpa jawaban. Tapi Emak, aku yakin akan secercah harapan. Sebuah format masa depan akan datang menghampiri. Rumah impian yang kita diami dalam rangkaian melodi. Alunan kedamaian membahana mengetuk seluruh tempat kediaman manusia saat nanti. Bayangkanlah, Emak. Sebuah tata dunia baru dicanangkan. Keadilan diproklamirkan. Khalifah yang dinanti akan mendoakan rakyatnya, dan kita akan mendoakan mereka pula. Rasa aman menyelimuti atap menembus syaraf hingga tulang rusuk kita. Percayalah, Emak. Dia yang duduk di Arsy telah berjanji, kita harus berusaha menggapainya. Berjalanlah menuju cahaya. Jangan takut dengan bayangan yang tercipta.
Emak, aku berdiri sekali lagi bersama ribuan orang yang menuntut perubahan. Mengusung kebenaran hakikat. Berjalan tanpa gentar mendobrak dinding birokrat. Menyeru dengan pendapat. Merangkul penguasa dan merengkuh kekuasaan. Namun kini langkahku terhenti, dalam ratusan cita cita dan angan yang terbuang. Setelah popor dan timah panas melibas jasadku. Aku terjatuh dalam masa lalu. De Ja Vu.
Kuteringat seorang tabib sastra, Emak. Ia berkata, jangan menjadi lilin yang sinarnya menerangi malam, namun menghancurkan diri sendiri. Jadilah mawar yang tumbuh indah mewangi dan memikat. Walau dalam hutan rimba yang lebat, dan tanpa seorangpun yang mengetahui keberadaannya. Namun Emak, apa sebenarnya itu indah? Mawar itu indah karena kita memberi sebuah konsep keindahan itu kepadanya. Dan, apakah kita mempunyai tujuan khusus? Benarkah hujan diciptakan untuk manusia? Kenapa sampai terjadi bencana ekologi? Kini aku paham, Emak. Aku dapat menjawab semuanya tanpa berbicara. Berteriak bebas dalam keheningan. Semua luka dalam diri musnah dalam sebuah lembaran suci. O, Emak. Andai kau dapat melihat diriku kini dalam sebuah dimensi.
Alangkah indahnya Emak, ingin sekali aku berlarian di padang hijau nan luas ini. Terlepas dari segala beban dan asa yang menimpa. Aku melihat Bapak melambaikan tangannya diantara bintang. Menghirup wangi pepohonan yang selalu melindungi dari segala terik yang menghujam. Alangkah indahnya, andai kau melihat semua ini Emak. Alangkah senangnya hati ini bila tubuhku dapat berguling dan menyandarkan bahu di atas tenang dan nyamannya rumput yang tebal ini, lembut. Tanpa terganggu suatu apapun.
Hatiku bahagia Emak. Tak usah menangisi kepergianku, kelak kita akan bertemu di sini. Tak ada seorangpun yang dapat mengganggu diriku lagi Emak. Aku dapat bersuka ria menikmati hangatnya sari daun teh hijau yang dingin sedingin embun di pagi hari. Menjemur diri di pagi yang hangat dan sedikit berkabut. Menari bersama para bidadari. Ramai dalam kesunyian. Oh senangnya. Bebas dari segala sesuatu yang mengganggu pikiranku. Yang ada adalah kedamaian. Kedamaian ini tercipta abadi, Emak. Abadi dalam lamunanku yang fana.[]
(Oleh Rio AN, Lampung Selatan, Indonesia. 22/01/06/00.46am - 31/10/07/10.46am).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar