Sabtu, 07 November 2009

Meralat Fatwa Facebook

.
Ibnu Hajar Al Atsqolani (773 – 852) bertutur dalam bukunya Tahdziibut Tahdziib, tentang kebesaran jiwa Ubaidillah bin Hasan Al Anbary (105 – 168 H). Suatu hari, qadhi (hakim) Bashrah (Irak) ini mengajak muridnya untuk mengurus jenazah seorang warga. Di tengah kesibukan, seorang warga bertanya suatu hukum kepada Qadhi. Sang Hakim pun menjawabnya demikian, demikian.

Tapi, demi mendengar jawaban Hakim, si murid bertanya kepada gurunya, “Semoga Allah Swt. meluruskan dirimu. Jawaban untuk pertanyaan tersebut mestinya begini, begini...”.

Tanpa berubah air mukanya, Ubaidillah terdiam sejenak. Berpikir. Lalu ia berkata tegas, “Kalau begitu, saya tarik lagi jawabanku tadi dan saya mengikuti jawabannmu. Sungguh, menjadi ekor dalam kebenaran lebih aku sukai ketimbang menjadi kepala dalam kebatilan.”

Kitab Thabaqat As Syafiiyah, melukiskan kebesaran Syaikh Izuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam. Pakar fiqih Mazhab Syafii yang hidup dalam kurun 577 – 660 ini, terkenal sebagai Sulthanul Ulama, karena banyak muridnya yang menjadi alim ulama. Nah, suatu hari Syaikh Izuddin mengeluarkan fatwa untuk menjawab persoalan warga. Tapi setelah dievaluasinya kembali, fatwa tersebut ternyata tidak tepat.

Bagaimana cara meralatnya dengan segera, padahal pernyataan itu sudah menyebar cepat melalui “radio dengkul” (getok tular). Jangankan internet dan handphone, pengeras suara saja ketika itu belum ada. Maka, Sang Syaikh kemudian berjalan kaki keliling kota Kairo, Mesir, sambil berseru kepada setiap orang: “Wahai, siapa saja yang menerima pernyataan demikian-demikian dari orang lain, janganlah diamalkan karena ternyata fatwa itu keliru!”.

Ulama adalah warasatul anbiya, atau pewaris para Nabi. Maka sudah tentu fatwa yang dihasilkannya harus menuju kebenaran dan dihasilkan oleh quwatuddalil (dalil yang terkuat). Bagaimana dengan ulama sekarang yang memfatwa-haramkan Golput, ataupun mengharamkan Facebook? Jika dievaluasi ternyata fatwanya lemah atau keliru dalam hujjah, sudah sepantasnya Ulama mengikuti jejak Ulama sebelumnya, yaitu melakukan verifikasi maupun ralat (klarifikasi).

Setelah seminggu berkembang isu rencana ulama Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Haram Facebook ternyata tidak benar hal ini di bantah oleh Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, KH Idris Marzuki
Bahkan Kiai Idris membantah kenal dengan orang yang mengatasnamakan juru bicara Ponpes Lirboyo, Nabil Haroen yang sebelumnya menyatakan akan ada fatwa untuk Facebook. “Tidak ada itu, saya bahkan tidak kenal dengan Nabil,” ujarnya saat dihubungi okezone di Jawa Timur, Jumat Berita lengkapnya dapat di baca di sini.
Berita yang beredar berdasar hasil Bhatsul Masail XI Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadi-Aat Lirboyo, Kediri, 20-21 Mei lalu, hukum Facebook dinyatakan haram.

”Jika Facebook digunakan untuk PDKT (pendekatan) dengan lawan jenis, hukumnya haram,” ujar Masruhan, perumus bhatsul masail,. Bhatsul masail yang diikuti 50 pondok pesantren (ponpes) se-Jatim itu baru berakhir dini hari kemarin.

Menurut Masruhan, untuk mengetahui karakteristik lawan jenis yang ingin dijadikan suami atau istri, Islam memberikan pedoman dan aturan sendiri. Karena itulah, tidak dibenarkan menggunakan Facebook sebagai media untuk pendekatan kepada lawan jenis.

”Kalau tidak ingin haram, harus to the point di Facebook. Misalnya, langsung mengajak menikah,” tutur rais Lajna Bhatsul Masail Ponpes Lirboyo tersebut.

Kepada kantor berita Associated Press (AP), Jubir Ponpes Lirboyo Nabil Haroen menambahkan, sekitar 700 kiai (ulama) sepakat untuk menyusun panduan dalam menjelajahi internet. Hal itu dilakukan setelah para kiai menerima pengaduan soal Facebook dan situs-situs lain di internet. Termasuk, kekhawatiran soal seks terlarang atau pornografi.

”Facebook dinyatakan haram, terutama jika digunakan untuk bergosip dan menyebarkan kebohongan,” katanya. ”Facebook juga haram jika para pemakainya berbicara tentang masalah intim secara terbuka atau mendukung perilaku vulgar,” lanjutnya.

Lain halnya dengan MUI sebagaimana yang diberitakan disini bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengharamkan penggunaan situs jejaring sosial Facebook. Sebagai teknologi, Facebook memiliki banyak unsur positif.
“Yang diharamkan itu bukan Facebook-nya tapi penggunaan hal-hal negatif di dalam Facebook,” kata Ketua MUI, Amidhan, kepada VIVAnews, Minggu 24 Mei 2009.
Tak ada alasan untuk mengharamkan Facebook jika dimanfaatkan sesuai fungsinya untuk berkomunikasi dan mengikat persaudaraan. Ia menilai Facebook sebagai teknologi yang netral. “Beda dengan situs porno yang jelas haram karena memang fungsinya untuk porno,” ujarnya.
Secara umum penggunaan Facebook bukan sesuatu yang haram. Yang patut diharamkan, kata dia, adalah penggunaan Facebook untuk hal negatif. “Seperti cinta-cintaan, bergosip, mengumbar kata-kata porno,” ujarnya.
Ketua MUI Kalsel Prof. H. Asyiwadie Syukur LC mengakui, tidak ada fatwa haram memanfaatkan facebook, apalagi untuk tujuan berkomunikasi untuk kemaslahatan umat.

“Kita tidak bisa memfatwakan facebook itu haram atau sebaliknya, kecuali melihat kontekstualnya,” ujar Asywadie di Banjarmasin, Minggu (24/05)

Guru Besar IAIN Antasari tersebut mengingatkan tuntutan agama Islam, yang antara lain menyatakan, segala sesuatu tergantung atau bermula dari niat orang itu.

Sebagai contoh, pemanfaatan “facebook” dalam rangka berkomunikasi guna menggali atau tukar ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat, maka hal itu tidak bisa dibilang haram.

Tapi bila pemanfaatan “facebook” untuk berkomunikasi dalam hal-hal yang terlarang, baik secara hukum positif di Indonesia maupun menurut norma-norma Islam, maka penggunaan sarana tersebut bisa dikategorikan haram.

“Hal tersebut sama saja dengan kita memakai sepeda motor. Kalau tujuan baik dan benar, maka tak ada larangan menggunakannya, tapi sebaliknya bila untuk tujuan negatif atau dimanfaatkan dalam melakukan perbuatan jahat, maka hukum Islam pun tak membolehkan,” lanjutnya.

“Jadi kalau saya pribadi melihat kedudukan `facebook` itu haram atau tidak, maka akan kita lihat dari segi manfaat dan mudarat. Kalau manfaatnya lebih besar untuk mebajikan atau kemaslahatan umat, maka pemanfaatan `facebook` bagi kaum muslim boleh-boleh saja, tapi sebaliknya jika negatif, maka itu haram,” demikian Asywadie Syukur.
Akhirnya kita semua para pengguna facebook bisa menarik nafas dengan lega atas kearifan yang ditunjukkan oleh para ulama (MUI) yang bisa dengan jernih melihat persoalannya. Kita semua tidak ingin Islam menjadi Agama yang terpinggirkan, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Kalau khawatir musuh-musuh Islam menyerang kita lewat teknologi informasi bukan berarti kita mengurung diri, menutup diri dari segala media, justru lewat media itu kita bisa mengkampanyekan Islam ke seluruh dunia agar orang-orang non-Muslim tahu bagaimana Islam sebenarnya. Facebook bagi saya sangat bermanfaat disamping sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi juga sebagai sarana dakwah menyampaikan kesejukan dan kebenaran Tasawuf dengan demikian Facebook bisa menjadi sarana ibadah kita dalam mengajak manusia untuk mengenal Allah dengan sebenar-benar kenal. Wallahualam. []

Referensi:
Facebook: Zain Pembebas (anggota PEJUANG ISLAM SEJATI)
Majalah Islamia Thn II No.6/Juli-September 2005
Majalah Al-Wa’ie edisi [?] 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar