Sabtu, 07 November 2009

Relativisme dan Kebenaran

.
Beberapa waktu yang lalu medio Juni, saya mengikuti Studium General Internasional Dr. Peter Suwarno, P.h.D, seorang dosen Universitas Arizona Amerika Serikat di lantai 3 aula Gd. D Fisip Unila. Acara ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ilmu Komunikasi Universitas Lampung. Judul kuliahnya “Religious vs Civil Discourse in The Deminishing Indonesian Public Sphere”. Lumayan ramai dengan audiens seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unila berbagai angkatan. Karena kuliah umum itu berisi gagasan-gagasan mendasar tentang sistem komunikasi dan perspektif kebenaran relatif, maka harus dicermati. Apalagi, sang Doktor secara implisit menyatakan dukungannya terhadap kebenaran relatif non-religius, perspektif khas liberalisme.

Gagasan penting yang diusung oleh sang Doktor tersebut adalah rencana pengembangan studi ilmu komunikasi berbasis Civil Discourse. Ia berkata tentang masalah ini:

“Untuk mengembangkan hubungan antarmanusia yang efektif, toleran dan komunikatif, kita harus mewujudkan sebuah public sphere (lihat Habermas; Bourgeouise, Liberal & Mass Public Sphere). Dimana tidak ada dominasi antara individu yang satu dengan yang lain, tak ada truth claim yang dipaksakan antara pemeluk agama dan entitas sosial tertentu.” Lebih lanjut dia mengatakan, tidak boleh ada simbol-simbol religius yang mendominasi area publik. Karena menurutnya hal itu menyulut konflik. Melalui speech accomodation, diharapkan komunikasi bebas dari nilai dan intervensi (free value). Sontak, akhwat-akhwat aktivis dakwah kampus langsung menyanggah karena merasa disudutkan, jilbab sebagai kewajiban disebut hanya sekadar simbol.

Dengan kata lain, sang Doktor berpemahaman sekular, tidak menginginkan kehidupan agama mengatur interaksi individu dalam masyarakat. Peran agama dikerdilkan hanya sebatas ritual privat. Menurut sang Profesor, seseorang tidak berhak memaksakan keyakinannya kepada orang lain dan merasa paling benar. Sebab, kebenaran itu sendiri tidaklah absolut, melainkan relatif. “Siapa yang mampu meyakinkan orang lain, itulah kebenaran!” katanya.

Mendengar kuliah sang Doktor ini, pada satu sisi saya bersyukur, bahwa pihak fakultas telah berhasil menghadirkan seorang dosen dari universitas asing yang capable di bidang ilmu komunikasi. Kerjasama dan hubungan baik antar universitas di bidang keilmuan harus dikembangkan lebih jauh. Harapan sang doktor untuk terciptanya suatu kehidupan masyarakat yang damai, komunikatif dan jauh dari konflik harus kita sambut baik. Tetapi, sebagai seorang Muslim, kita wajib untuk bersikap kritis dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Jika kita mengkritik gagasan sang Doktor tersebut mengenai kebenaran relatif, tentu kita juga berharap agar sang Doktor menyadari bahwa gagasannya tidak sepenuhnya benar. Bahkan, dari sudut pandang pemikiran Islam, gagasan pengembangan faham liberal dan studi sistem komunikasi berbasis relativisme sekular, sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

Menarik bila saya paparkan sebuah pemikiran Hamid Fahmy Zarkasy yang mengkritisi relativisme; “Semua adalah relatif” (all is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.

Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle atau Bill Kovach, misalnya, rela memilih kebenaran daripada persahabatan.

Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernism lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama.

Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum munkaran…dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.

Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat setan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.

Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.

Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.

Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Kristen missionaries dan 27% atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin postmo pun berubah:“Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katolik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.

Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Tak ada yang mengerti secara absolut maksud Tuhan dalam kitab suci menurut pemahaman hermeneutis. Kalau begitu, untuk apa adanya Rasulullah Saw sebagai Nabi yang menjelaskan kepada umatnya? Benarlah pepatah para hukama ’al-Nas a‘da ma jahila, manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya (www.hidayatullah.com).

Maka, sudah seharusnya, ketika kita ingin mengembangkan suatu sistem teori atau pendidikan, maka kita pun kemudian mendasarkan kepada Islam. Menurut pikiran saya, sebagai seorang muslim, sebaiknya studi apa pun yang kita kembangkan–apakah studi ilmu komunikasi, kedokteran, studi ekonomi, studi politik, dan sebagainya–seyogyanya tetap berdasarkan kepada aqidah dan syariah Islam.

Inilah perspektif Islam dalam melihat kebenaran. Jika prinsip Islam ini hendak digusur dari pengajaran ilmu komunikasi religius—dan digantikan dengan perspektif Civil Discourse dan relativisme sekular seperti gagasan sang Doktor tersebut—maka pada hakikatnya, itu sama saja dengan meracuni ilmu komunikasi itu sendiri. Mungkin sang Doktor tidak sadar akan kekeliruan dan dampak dari gagasannya. Mungkin juga dia sadar dan sengaja mempromosikan gagasan tersebut, karena menganggapnya sebagai hal yang baik dan benar.

Kita berharap, mudah-mudahan, Jurusan Ilmu Komunikasi tidak tergoda oleh gagasan sang Doktor dari Arizona tersebut, yang ingin mencampurbaurkan antara ilmu dan tsaqafah, antara ilmu komunikasi yang independen dengan sistem komunikasi liberal. []

Rio AN, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lampung, 25 Juni 2009

Meralat Fatwa Facebook

.
Ibnu Hajar Al Atsqolani (773 – 852) bertutur dalam bukunya Tahdziibut Tahdziib, tentang kebesaran jiwa Ubaidillah bin Hasan Al Anbary (105 – 168 H). Suatu hari, qadhi (hakim) Bashrah (Irak) ini mengajak muridnya untuk mengurus jenazah seorang warga. Di tengah kesibukan, seorang warga bertanya suatu hukum kepada Qadhi. Sang Hakim pun menjawabnya demikian, demikian.

Tapi, demi mendengar jawaban Hakim, si murid bertanya kepada gurunya, “Semoga Allah Swt. meluruskan dirimu. Jawaban untuk pertanyaan tersebut mestinya begini, begini...”.

Tanpa berubah air mukanya, Ubaidillah terdiam sejenak. Berpikir. Lalu ia berkata tegas, “Kalau begitu, saya tarik lagi jawabanku tadi dan saya mengikuti jawabannmu. Sungguh, menjadi ekor dalam kebenaran lebih aku sukai ketimbang menjadi kepala dalam kebatilan.”

Kitab Thabaqat As Syafiiyah, melukiskan kebesaran Syaikh Izuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam. Pakar fiqih Mazhab Syafii yang hidup dalam kurun 577 – 660 ini, terkenal sebagai Sulthanul Ulama, karena banyak muridnya yang menjadi alim ulama. Nah, suatu hari Syaikh Izuddin mengeluarkan fatwa untuk menjawab persoalan warga. Tapi setelah dievaluasinya kembali, fatwa tersebut ternyata tidak tepat.

Bagaimana cara meralatnya dengan segera, padahal pernyataan itu sudah menyebar cepat melalui “radio dengkul” (getok tular). Jangankan internet dan handphone, pengeras suara saja ketika itu belum ada. Maka, Sang Syaikh kemudian berjalan kaki keliling kota Kairo, Mesir, sambil berseru kepada setiap orang: “Wahai, siapa saja yang menerima pernyataan demikian-demikian dari orang lain, janganlah diamalkan karena ternyata fatwa itu keliru!”.

Ulama adalah warasatul anbiya, atau pewaris para Nabi. Maka sudah tentu fatwa yang dihasilkannya harus menuju kebenaran dan dihasilkan oleh quwatuddalil (dalil yang terkuat). Bagaimana dengan ulama sekarang yang memfatwa-haramkan Golput, ataupun mengharamkan Facebook? Jika dievaluasi ternyata fatwanya lemah atau keliru dalam hujjah, sudah sepantasnya Ulama mengikuti jejak Ulama sebelumnya, yaitu melakukan verifikasi maupun ralat (klarifikasi).

Setelah seminggu berkembang isu rencana ulama Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Haram Facebook ternyata tidak benar hal ini di bantah oleh Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, KH Idris Marzuki
Bahkan Kiai Idris membantah kenal dengan orang yang mengatasnamakan juru bicara Ponpes Lirboyo, Nabil Haroen yang sebelumnya menyatakan akan ada fatwa untuk Facebook. “Tidak ada itu, saya bahkan tidak kenal dengan Nabil,” ujarnya saat dihubungi okezone di Jawa Timur, Jumat Berita lengkapnya dapat di baca di sini.
Berita yang beredar berdasar hasil Bhatsul Masail XI Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri Se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadi-Aat Lirboyo, Kediri, 20-21 Mei lalu, hukum Facebook dinyatakan haram.

”Jika Facebook digunakan untuk PDKT (pendekatan) dengan lawan jenis, hukumnya haram,” ujar Masruhan, perumus bhatsul masail,. Bhatsul masail yang diikuti 50 pondok pesantren (ponpes) se-Jatim itu baru berakhir dini hari kemarin.

Menurut Masruhan, untuk mengetahui karakteristik lawan jenis yang ingin dijadikan suami atau istri, Islam memberikan pedoman dan aturan sendiri. Karena itulah, tidak dibenarkan menggunakan Facebook sebagai media untuk pendekatan kepada lawan jenis.

”Kalau tidak ingin haram, harus to the point di Facebook. Misalnya, langsung mengajak menikah,” tutur rais Lajna Bhatsul Masail Ponpes Lirboyo tersebut.

Kepada kantor berita Associated Press (AP), Jubir Ponpes Lirboyo Nabil Haroen menambahkan, sekitar 700 kiai (ulama) sepakat untuk menyusun panduan dalam menjelajahi internet. Hal itu dilakukan setelah para kiai menerima pengaduan soal Facebook dan situs-situs lain di internet. Termasuk, kekhawatiran soal seks terlarang atau pornografi.

”Facebook dinyatakan haram, terutama jika digunakan untuk bergosip dan menyebarkan kebohongan,” katanya. ”Facebook juga haram jika para pemakainya berbicara tentang masalah intim secara terbuka atau mendukung perilaku vulgar,” lanjutnya.

Lain halnya dengan MUI sebagaimana yang diberitakan disini bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengharamkan penggunaan situs jejaring sosial Facebook. Sebagai teknologi, Facebook memiliki banyak unsur positif.
“Yang diharamkan itu bukan Facebook-nya tapi penggunaan hal-hal negatif di dalam Facebook,” kata Ketua MUI, Amidhan, kepada VIVAnews, Minggu 24 Mei 2009.
Tak ada alasan untuk mengharamkan Facebook jika dimanfaatkan sesuai fungsinya untuk berkomunikasi dan mengikat persaudaraan. Ia menilai Facebook sebagai teknologi yang netral. “Beda dengan situs porno yang jelas haram karena memang fungsinya untuk porno,” ujarnya.
Secara umum penggunaan Facebook bukan sesuatu yang haram. Yang patut diharamkan, kata dia, adalah penggunaan Facebook untuk hal negatif. “Seperti cinta-cintaan, bergosip, mengumbar kata-kata porno,” ujarnya.
Ketua MUI Kalsel Prof. H. Asyiwadie Syukur LC mengakui, tidak ada fatwa haram memanfaatkan facebook, apalagi untuk tujuan berkomunikasi untuk kemaslahatan umat.

“Kita tidak bisa memfatwakan facebook itu haram atau sebaliknya, kecuali melihat kontekstualnya,” ujar Asywadie di Banjarmasin, Minggu (24/05)

Guru Besar IAIN Antasari tersebut mengingatkan tuntutan agama Islam, yang antara lain menyatakan, segala sesuatu tergantung atau bermula dari niat orang itu.

Sebagai contoh, pemanfaatan “facebook” dalam rangka berkomunikasi guna menggali atau tukar ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat, maka hal itu tidak bisa dibilang haram.

Tapi bila pemanfaatan “facebook” untuk berkomunikasi dalam hal-hal yang terlarang, baik secara hukum positif di Indonesia maupun menurut norma-norma Islam, maka penggunaan sarana tersebut bisa dikategorikan haram.

“Hal tersebut sama saja dengan kita memakai sepeda motor. Kalau tujuan baik dan benar, maka tak ada larangan menggunakannya, tapi sebaliknya bila untuk tujuan negatif atau dimanfaatkan dalam melakukan perbuatan jahat, maka hukum Islam pun tak membolehkan,” lanjutnya.

“Jadi kalau saya pribadi melihat kedudukan `facebook` itu haram atau tidak, maka akan kita lihat dari segi manfaat dan mudarat. Kalau manfaatnya lebih besar untuk mebajikan atau kemaslahatan umat, maka pemanfaatan `facebook` bagi kaum muslim boleh-boleh saja, tapi sebaliknya jika negatif, maka itu haram,” demikian Asywadie Syukur.
Akhirnya kita semua para pengguna facebook bisa menarik nafas dengan lega atas kearifan yang ditunjukkan oleh para ulama (MUI) yang bisa dengan jernih melihat persoalannya. Kita semua tidak ingin Islam menjadi Agama yang terpinggirkan, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Kalau khawatir musuh-musuh Islam menyerang kita lewat teknologi informasi bukan berarti kita mengurung diri, menutup diri dari segala media, justru lewat media itu kita bisa mengkampanyekan Islam ke seluruh dunia agar orang-orang non-Muslim tahu bagaimana Islam sebenarnya. Facebook bagi saya sangat bermanfaat disamping sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi juga sebagai sarana dakwah menyampaikan kesejukan dan kebenaran Tasawuf dengan demikian Facebook bisa menjadi sarana ibadah kita dalam mengajak manusia untuk mengenal Allah dengan sebenar-benar kenal. Wallahualam. []

Referensi:
Facebook: Zain Pembebas (anggota PEJUANG ISLAM SEJATI)
Majalah Islamia Thn II No.6/Juli-September 2005
Majalah Al-Wa’ie edisi [?] 2009

Nyanyian Untuk Emak

.
Emak, kadang kadang aku berpikir kenapa aku dilahirkan. Aku dapat menggerakkan jari jari tanganku dengan bebas. Menyusuri lapangan berumput hijau becek untuk bermain bola di belakang rumah Pak Giman. Bermain petak umpet dan melempar batu memecahkan jendela tetangga yang buram. Menggenggam jemari kehidupan yang tak pernah kualami sebelumnya. Aku Ada!

Apa artinya semua ini Emak. Yang kutahu adalah aku tak pernah mengerti. Semenjak kecil engkau merawatku hingga aku beranjak dewasa dengan kasih sayang dan tanpa pamrih. Dimarahi kepala sekolah hingga digebuki aparat saat orasi waktu di bangku kuliah. Dikejar kejar polisi pamong praja saat menjual gorengan, rokok dan sepasang sepatu milik sendiri. Demi mencari sesuap nasi, dan mengais demi biaya pendidikan yang menggila. Emak, doa dan tangismu menyatu layaknya serpihan mutiara yang menyertaiku, "Supaya kamu itu jadi orang!" katamu Emak.

Ada yang bilang hidup ini hanya sandiwara Emak. Hidup ini sebuah naskah besar dan kita menjalani peran masing masing. Adakah kehidupan sebelum ini Emak? Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada mengapa ada kejahatan? Bukankah tanah yang kita jejaki ini seharusnya indah? Jangan kau prihatin Emak. Walau kita makan sekali sehari dalam gubuk yang keropos dan lumutan, tokh kita bisa melihat bintang yang tersenyum mengintip di balik atap di kejauhan. Mencari kehangatan dari rayuan seruling bambu dan rengekan gitar tua. Bernyanyi lagu tentang Bapak yang lebih dahulu bertemu bintang.

Kini aku percaya seutuhnya Tuhan itu ada Emak. Kita ada karena Dia ada. Bukankah manusia itu sangat rapuh? Aku baru menyadari ketika melihat dengan mata hati sendiri Emak Aku melihat lebih jelas sekarang. Aku buta. Ya, aku buta sekarang, Emak. Mereka telah mengambil penglihatanku. Tapi aku bersyukur Emak, kebenaran telah terlihat jelas sekarang. Penguasa berpihak pada Pengusaha. Dijilat dan menjilat demi memenuhi syahwat kehendak untuk berkuasa. Aku minta maaf Emak. Gerobak sumber penghidupan milikmu yang digunakan untuk berjualan gorengan dirampas. Aparat memang kurang ajar Emak. Apa yang salah? Bukankah mereka sama seperti kita? Hanya menjadi budak kapitalisme dan objek penindasan.

Aku juga ingin hidup mapan dan sejahtera Emak. Sudah cukup sosialisme. Aku bosan hidup miskin. Aku ingin semua orang menjadi kaya agar segala kemalangan sirna di muka bumi ini. Aku sedih melihat engkau, Emak. Peluhmu dan tangismu yang menitik melahirkan malaikat. Malaikat yang menyemangati dalam setiap relung kehidupanku. Memendarkan cahaya dalam setiap jejak langkah yang kulalui. Namun jahanam tak berguna sepertiku tak kuasa melawan tindakan tirani. Dimanakah nilai nilai kemanusiaan yang mereka teriakkan Emak? Akupun tak mengerti. Mereka datang saat kampanye sambil berjualan kecap. Hanya datang saat mereka membutuhkan kita, Emak. Setelah itu mencampakkan kita seperti kulit pisang, yang dibuang dalam setumpuk ilalang.

Aku takut sekali Emak. Jangan pula kau terbuai oleh merdunya Demokrasi. Mereka membunuh atas nama kebebasan, Emak. Privatisasi dibalik hak asasi, menginjak halal-haram. Memperkosa martabat demi kesetaraan. Menghamba uang, akar segala kejahatan. Yang kuat akan bertahan hidup, dan yang lemah seperti kita Emak, akan mati. Hidup di dunia judi. Pragmatis membebek praktisi tanpa menyelami kebenaran teori. Memecah raga dan ketulusan jiwa. Menghirup semerbak pembantaian dan genosida. Tanpa sadar terhadap Dia yang memegang tiap tiap jiwa mereka. Hanya seketika saat meregang nyawa.

Banyak pertanyaan tanpa jawaban. Tapi Emak, aku yakin akan secercah harapan. Sebuah format masa depan akan datang menghampiri. Rumah impian yang kita diami dalam rangkaian melodi. Alunan kedamaian membahana mengetuk seluruh tempat kediaman manusia saat nanti. Bayangkanlah, Emak. Sebuah tata dunia baru dicanangkan. Keadilan diproklamirkan. Khalifah yang dinanti akan mendoakan rakyatnya, dan kita akan mendoakan mereka pula. Rasa aman menyelimuti atap menembus syaraf hingga tulang rusuk kita. Percayalah, Emak. Dia yang duduk di Arsy telah berjanji, kita harus berusaha menggapainya. Berjalanlah menuju cahaya. Jangan takut dengan bayangan yang tercipta.

Emak, aku berdiri sekali lagi bersama ribuan orang yang menuntut perubahan. Mengusung kebenaran hakikat. Berjalan tanpa gentar mendobrak dinding birokrat. Menyeru dengan pendapat. Merangkul penguasa dan merengkuh kekuasaan. Namun kini langkahku terhenti, dalam ratusan cita cita dan angan yang terbuang. Setelah popor dan timah panas melibas jasadku. Aku terjatuh dalam masa lalu. De Ja Vu.

Kuteringat seorang tabib sastra, Emak. Ia berkata, jangan menjadi lilin yang sinarnya menerangi malam, namun menghancurkan diri sendiri. Jadilah mawar yang tumbuh indah mewangi dan memikat. Walau dalam hutan rimba yang lebat, dan tanpa seorangpun yang mengetahui keberadaannya. Namun Emak, apa sebenarnya itu indah? Mawar itu indah karena kita memberi sebuah konsep keindahan itu kepadanya. Dan, apakah kita mempunyai tujuan khusus? Benarkah hujan diciptakan untuk manusia? Kenapa sampai terjadi bencana ekologi? Kini aku paham, Emak. Aku dapat menjawab semuanya tanpa berbicara. Berteriak bebas dalam keheningan. Semua luka dalam diri musnah dalam sebuah lembaran suci. O, Emak. Andai kau dapat melihat diriku kini dalam sebuah dimensi.

Alangkah indahnya Emak, ingin sekali aku berlarian di padang hijau nan luas ini. Terlepas dari segala beban dan asa yang menimpa. Aku melihat Bapak melambaikan tangannya diantara bintang. Menghirup wangi pepohonan yang selalu melindungi dari segala terik yang menghujam. Alangkah indahnya, andai kau melihat semua ini Emak. Alangkah senangnya hati ini bila tubuhku dapat berguling dan menyandarkan bahu di atas tenang dan nyamannya rumput yang tebal ini, lembut. Tanpa terganggu suatu apapun.

Hatiku bahagia Emak. Tak usah menangisi kepergianku, kelak kita akan bertemu di sini. Tak ada seorangpun yang dapat mengganggu diriku lagi Emak. Aku dapat bersuka ria menikmati hangatnya sari daun teh hijau yang dingin sedingin embun di pagi hari. Menjemur diri di pagi yang hangat dan sedikit berkabut. Menari bersama para bidadari. Ramai dalam kesunyian. Oh senangnya. Bebas dari segala sesuatu yang mengganggu pikiranku. Yang ada adalah kedamaian. Kedamaian ini tercipta abadi, Emak. Abadi dalam lamunanku yang fana.[]

(Oleh Rio AN, Lampung Selatan, Indonesia. 22/01/06/00.46am - 31/10/07/10.46am).

Senin, 02 November 2009

Manohara dan Isyarat Pembebas

Manohara Odelia Pinot, siapa yang tak kenal dirinya? Seluruh media memberitakan kisahnya terlebih lagi infotainment. Sebuah publisitas mahal yang tak semua artis mendapatkannya. Namun saya tidak ingin membahas tentang kasus kontroversialnya dengan pihak suaminya, Pangeran Teuku Fachry, dan Kerajaan Kelantan Malaysia Barat. Pengacaranya, OC Kaligis mundur tak lagi membela Mano karena Ibunda Manohara tidak serius akan kasus penyiksaan Manohara oleh Teuku Fachry, dan lain-lain. Tapi saya lebih menyoroti pada perspektif komunikasi, yaitu komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh Manohara. Pada pertengahan April 2009 lalu sebuah stasiun televisi menayangkan gambar Mano. Tayangan tersebut diperkirakan sebagai salah satu bentuk respons kerajaan Kelantan untuk menunjukkan bahwa keadaan Manohara baik-baik saja.

Harian Lampung Post mengutip, “Dalam tayangan tersebut ditunjukkan Manohara sedang berkunjung ke sebuah yayasan panti asuhan. Dia terlihat baik, selalu tersenyum. Tapi, dia juga memberikan bahasa isyarat kepada kami kalau dia minta tolong. Seperti dia menepuk-nepuk dada atas sebelah kirinya atau dengan bentuk yang lain. Dan bahasa isyarat tersebut dulu sering digunakan Manohara kalau mau minta tolong kepada Dewi (kakak Manohara, red),” kata ibu Manohara, Daisy Fajarina, Rabu (29/04/2009).

Dari tulisan dalam rubrik Hiburan harian Lampung Post di atas telah terbukti bahwa isyarat berupa tepukan tangan itu bermakna benar adanya. Hal itu dapat dilihat ketika Manohara memberikan keterangan pada pers setelah dirinya dapat kembali bertemu Daisy Fajarina, setelah melalui ‘drama’ pelariannya dan kembali ke Indonesia. Lampung Post edisi Selasa (02/06/2009) menuliskan; Mano memberi isyarat minta tolong dan itu diketahui oleh keluarga Mano, khususnya ibunya, Daisy Fajarina dan kakaknya, Dewi. “Saya tepuk dada, tanda minta tolong dan pegang cincin. Itu tanda yang saya buat dengan keluarga saya. Itu juga yang sering saya gunakan saat minta tolong sama Kak Dewi,’ jelas Mano, model yang daftar 100 Pesona Indonesia oleh Majalah Harper’s Bazaar ini.

Seorang psikolog sosial, Ekman (1975) meneliti tentang persepsi petunjuk kinesik (Kinesic Cues). Dalam bahasa Indonesia kita mempunyai beberapa ungkapan yang mencerminkan persepsi kita tentang orang lain dari gerakan tubuhnya. Ungkapan-ungkapan itu dengan persepsinya, antara lain; membusungkan dada (sombong), menundukkan kepala (merendah), berdiri tegak (berani), bertopang dagu (sedih), menadahkan tangan (bermohon). Dan lain-lain.

Beberapa penelitian telah membuktikan persepsi yang cermat tentang sifat-sifat orang dari pengamatan petunjuk kinesik. Mano sebagai objek di televisi memberikan isyarat tangan sebagai petunjuk kinesik. Ibunda Mano (Daisy Fajarina) sebagai subjek ternyata dapat memahami dengan kecermatan yang sukar diduga sebagai hanya kebetulan saja (lihat Secord dan Backman, 1964:62).

Begitu pentingnya petunjuk kinesik, sehingga bila petunjuk petunjuk lain (seperti ucapan) bertentangan dengan petunjuk kinesik, orang mempercayai yang terakhir. Mengapa? Karena petunjuk kinesik adalah yang paling sukar untuk dikendalikan secara sadar oleh orang yang menjadi stimuli (selanjutnya disebut persona stimuli—orang yang dipersepsi; lawan dari persona penanggap (Jalaluddin Rakhmat; Psikologi komunikasi, 2005).

Sangat jelas terlihat bahwa Manohara menggunakan petunjuk kinesik (kinesic cues) yaitu menepuk-nepuk dada atas sebelah kirinya dengan telapak tangan kanannya. Saya tidak menempatkan hal ini sebagai ekspresionisme simbolik, karena gerakan yang dilakukan Mano tersebut adalah khas dan tidak dapat dicerna oleh publik. Karena, walau tertangkap kamera wartawan, petunjuk kinesik itu tidak ditujukan kepada publik, namun motivasi Mano adalah menunjukkan kepada keluarga terdekat sebagai persona penanggap, yang paling memahami petunjuk kinesik tersebut.

Manohara sebagai persona stimuli menyadari dia tidak bisa meminta tolong secara verbal, karena ketatnya penjagaan pihak Kerajaan kelantan. Sehingga Mano memanfaatkan pers sebagai medium penyampaian pesan gestural (nonverbal) yang intrinsik. Memang di dalam komunikasi interpersonal seharusnya tidak ada medium yang memisahkan antara komunikator dan komunikan. Atau dengan kata lain komunikasi interpersonal itu haruslah bersifat face to face (tatap muka). Namun saya lebih memperhatikan keberhasilan Manohara dalam kehidupan sehari-harinya—sebelum dia menikah dengan Teuku Fakhry—yang berhasil membangun persepsi interpersonal dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga. Khususnya tentu saja, dalam menggunakan petunjuk kinesik.

Secara pragmatis, saya sendiri merasa kesulitan menafsirkan petunjuk kinesik yang dilakukan Mano tersebut, atau bahkan melupakannya bila tidak dipersepsi secara cermat oleh Ibunda Mano, Daisy Fajarina. Secara keseluruhan, kita menangkap kesan tentang persona stimuli dari petunjuk-petunjuk verbal dan nonverbal.

Apakah persepsi kita cermat atau tidak? Kasus Manohara ini menunjukkan bahwa persona stimuli menimbulkan kesan berlainan bagi orang-orang yang berbeda. Namun tetap ada makna kebenaran absolut yang dapat dijelaskan/ditafsirkan. Tentu saja penafsiran itu lebih akurat bila dilakukan oleh persona penanggap di lingkaran konsentris pertama, yaitu keluarga. Di sini berperan faktor-faktor personal dari penanggap stimuli (stimulus receiver), dari individu yang melakukan persepsi. Terakhir, mungkin isyarat tepukan tangan inilah yang secara tidak langsung membebaskan Mano, dengan memberikan informasi keadaan dirinya yang tertekan serta membutuhkan pertolongan disaat itu. []

Oleh: Rio AN
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Lampung

RUU Pers Negara Khilafah

Pengantar
Media massa (wasai’l al I’lam) bagi Negara Khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al mabda al islami) baik di dalam maupun di luar negeri (Sya’rawi, 1992: 140). Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat Islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia (Masyru’ Dustur Dawlah al Khilafah, pasal 103).

Mengingat fungsi strategis ini, dapat dimengerti mengapa Hizbut Tahrir dan para ulamanya menaruh perhatian serius dalam masalah ini. Karena itulah, dalam kitab Ajhizah Dawlah al Khilafah (2005: 143), Hizbut Tahrir telah menambahkan satu departemen terkait media massa dalam struktur Negara Khilafah, yaitu departemen penerangan (Da’irah al I’lam).

Para ulama Hizbut Tahrir juga terus memikirkan dengan serius bagaimana pengaturan media massa kelak dalam Negara Khilafah. Syaikh Ziyad Ghazzal adalah salah satunya. Beliau telah menulis kitab setebal 77 halaman dengan judul Masyru’ Qanun Wasa’il al I’lam fi Dawlah al Khilafah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah) (2003). Kitab inilah yang akan kita telaah pada kesempatan ini.

Syaikh Ziyad Ghazzal sendiri adalah seorang mujtahid dari Hizbut Tahrir Palestina. Beliau telah menghasilkan karya karya berharga berupa sejumlah RUU untuk Negara Khilafah yang akan segera berdiri, Insyaallah. Karya beliau lainnya adalah Masyru’ Qanun al Ahzab fi Dawlah al Khilafah (2003). Lihat RUU Parpol Negara Khilafah; Majalah Al Wa’ie, No 92, April 2008).

Merinci RUUD Khilafah
Dalam kitab Masyru’ Dustur Dawlah al Khilafah (RUUD Negara Khilafah) edisi revisi mutakhir (mu’tamadah) yang dikeluarkan Hizbut Tahrir terdapat dua pasal yang mengatur penerangan (I’lam) dan alat penerangan umum (wasa’il al I’lam), yaitu pasal 103 dan 104. Pasal 103 menerangkan keberadaan Departemen Penerangan (da’irah al I’lam) serta tugas pokoknya di dalam dan luar negeri. Pasal 104 menerangkan bahwa keberadaan suatu media massa tidaklah memerlukan suatu izin (tarkhis) dari Negara; cukup menyampaikan pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Pasal ini juga menerangkan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap segala isi media, yaitu Pemimpin Redaksi.

Dua pasal tersebut jelas masih bersifat global. Sebagai ketentuan dasar dalam Undang Undang Dasar, bolehlah dua pasal itu dianggap mencukupi. Namun untuk pengaturan media massa dalam kehidupan sehari hari yang sangat kompleks, tentu harus ada ketentuan perundang undangan yang lebih rinci. Disinilah kitab Syaikh Ziyad Ghazzal menemukan tempatnya. Kitabnya merupakan rancangan undang undang Islami yang digagas untuk merinci lebih lanjut dari dua pasal tersebut.

Rincian Syaikh Ghazzal terwujud dalam 32 pasal yang terdiri dari dua bagian: Pertama, pasal 1-19 menjelaskan bagaimana pengaturan media massa dalam Negara Khilafah. Kedua: pasal 20-32 menjelaskan tindak pidana yang dilakukan media massa.

Pengaturan Media Massa
Syaikh Ghazzal mendefinisikan pengertian alat penerangan umum (wasa’il al I’lam) sebagai alat alat untuk menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang terangan. Alat alat ini meliputi: stasiun TV baik di bumi maupun di luar angkasa, stasiun radio, terbitan berkala (al mathbu at ad dawriyah), dan bioskop serta panggung pertunjukan (pasal 1 dan 2).

Setiap individu rakyat berhak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik melalui alat alat tersebut. Hak ini diakui syariah berdasarkan dalil dalil yang mewajibkan atau mensunnahkan menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang terangan. Banyak dalil dikemukakan oleh Syaikh Ghazzal, misalnya tindakan Ibnu Abbas yang secara terang terangan mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Diceritakan oleh Ikrimah bahwa Ali bin Abi Thalib telah membakar orang orang zindiq yang murtad sebagai hukuman atas mereka. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata, “Kalau aku tidak akan membakar mereka, karena ada larangan dari Rasulullah SAW., ‘Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah!’ Niscaya aku hanya akan membunuh mereka karena sabda Rasulullah SAW ., ‘Siapa saja yang mengganti agamanya, bunuhlah dia!’” (HR al Bukhari) (h.5) (Al Maliki, 1990:83).

Hadis ini menunjukkan adanya hak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik secara tebuka lewat media massa. Namun, hak ini diatur dengan sejumlah kewajiban dan syarat tertentu. Orang yang mau menerbitkan majalah atau mendirikan stasiun TV dan radio, misalnya, memang tidak disyaratkan meminta izin (tarkhis) kepada Negara, karena izin sudah diperoleh secara langsung dari syariah. Dia hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan (I’lam) kepada intitusi negara yang terkait. Pemberitahuan ini hanya berupa sejumlah penjelasan yaitu tentang: (1) Jenis media massa, alamatnya, dan bahasa yang digunakan; (2) Nama pemilik media, kewarganegaraan, dan alamatnya; (3) Nama Pemimpin Redaksi, kewarganegaraan, dan alamatnya. (pasal 3 dan 4). Pemilik media dan dan Pemimpin Redaksi ini haruslah warga Negara Khilafah. Sebab, kewarganegaraan (tabi’iyah) itulah yang melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga Negara, termasuk hak menerbitkan media massa (pasal 5 dan 6).

Jika kemudian hak ini disalahgunakan menyebarkan ide batil seperti nasionalisme dan demokrasi, siapa yang bertanggung jawab? Syaikh Ghazzal menerangkan dalam pasal 7, yang bertanggung jawab terhadap seluruh isi media adalah Pemimpin Redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara langsung (h.10). jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga Negara lain. Kalau memang bersalah dia harus diadili dan dihukum. Tidak diistimewakan atau mempunyai privilege tertentu yang membuatnya berbeda dengan warga Negara biasa (pasal 9, h. 13). Ini sangat berbeda dengan wartawan Barat, yang sering tidak mau bertanggung jawab dengan dalih “kebebasan pers” atau merasa kebal hokum karena media massa sudah dianggap pilar keempat dalam femokrasi (Sya’rawi, 1992:142).

Namun, andaikata Pemimpin Redaksi atau wartawan suatu media diadili dan dipenjara, tak berarti medianya otomatis dibekukan atau dihentikan. Sebab, media hanya dapat dibekukan atau dihentikan dalam satu keadaan, yaitu jika pemilik media bukan lagi warga Negara Khilafah (pasal 12). Pihak yang berhak memberi peringatan, membekukan, atau menghentikan operasional suatu media pun bukanlah pihak penguasa (al hukkam), melainkan peradilan saja (pasal 13).

Kantor berita asing (seperti Reuter, AFP) atau perwakilan media asing (seperti perwakilan BBC) harus mendapat izin dari Departemen Dalam Negeri. Departemen ini juga yang berhak membekukan atau mencabut izin suatu kantor berita atau perwakilan media asing (pasal 10). Produk cetak dari luar negeri yang masuk lewat jalur perdagangan seperti majalah atau Koran, harus mendapat izin dari Qadhi Hisbah (pasal 11).

Yang tak kalah menariknya, dalam RUU ini Syaikh Ghazzal menjelaskan pengaturan seni peran (drama), film, musik, nyanyian, dan lawak (tasliyah). Jadi jangan dibayangkan media massa di Negara Khilafah nanti isinya ngaji melulu. Ngaji jelas ada, tetapi seni yang halal tetap dibolehkan dalam Negara Khilafah.

Seni peran bagi Syaikh Ghazzal boleh dalam Islam dengan sejumlah syarat. Kebolehannya antara lain didasarkan pada hadis sahih mengenai seorang lelaki Baduwi bernama Zahir bin Hiram. Zahir ini seorang yang buruk rupa, tetapi Nabi SAW. mencintainya. Suatu saat nabi SAW. menemui Zahir yang sedang menjual barang dagangannya. Nabi SAW. pun memeluknya dari belakang, sedangkan Zahir tak melihatnya. “Lepaskan aku, siapa ini?” kata Zahir. Namun setelah Zahir menoleh dan tahu siapa yang memeluknya, Zahir terus meletakkan punggungnya pada dada Nabi SAW. Nabi SAW. lalu berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir menjawab, “Demi Allah, jadi Anda menganggap saya barang yang murah?” Nabi SAW. menjawab, “Tapi, di sisi Allah engkau mahal harganya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al Bazzar). (Ath Thahtahwi, 1997: 125)

Setelah menukilkan riwayat di ats, Syaikh Ghazzal menyimpulkan bolehnya seni peran. Sebab, Nabi SAW. telah memainkan peran sebagai pemilik budak, padahal sebenarnya beliau bukanlah pemilik budak (Zahir), dan beliau pun mengajak hadirin untuk membeli Zahir, padahal Zahir bukanlah budak yang sedang diperjualbelikan (h .18).

Namun, kebolehan seni peran ini dibatasi 5 syarat: (1) tidak adanya ikhtilath (campur baur) pria-wanita; (2) tidak adanya laki laki yang menyerupai wanita atau sebaliknya; (3) tidak memerankan malaikat, para Nabi, Khulafaur Rasyidin, istri istri Nabi SAW, dan Siti Maryam; (4) tidak membuat atau menggambar sesuatu yang bernyawa; dan (5) tidak menampilkan kejadian hari kiamat atau sesudahnya seperti surga dan neraka (pasal 14, h. 16). Yang mirip dengan seni peran adalah lawak (tasliyah/tarfih) yang juga boleh menurut Syaikh Ghazzal dengan syarat tidak adanya syarat ikhtilath pria wanita (pasal 17).

Syaikh Ghazzal juga menerangkan bolehnya musik dan nyanyian meski juga dibatasi dengan sejumlah syarat, misalnya: tidak disertai dengan nyanyian dan tarian wanita; tidak disertai tarian laki laki yang bergerak gemulai; dan tidak adanya ikhtilath pria wanita (pasal 18). Beliau menjelaskan pasal ini agak panjang lebar (perlu sekitar 10 halaman), karena masalah ini cukup pelik mengingat banyak perbedaan pendapat sehingga diperlukan penelusuran dan pentarjihan dalil dalilnya secara mendalam (AL Baghdadi, 1991; Al Jazairi, 1992).

Tindak Pidana Media Massa
Pada pasal 20-32 Syaikh Ghazzal menjelaskan berbagai tindak pidana yang dilakukan media massa sekaligus kadar sanksinya. Beliau menyadari bahwa sebenarnya masuk dalam UU Hukum Pidana (al qanun al jina’i). Namun, beliau meletakkannya dalam RUU Media Massa dengan maksud untuk memberi gambaran yang jelas mengenai kehidupan media -assa dalam Negara Khilafah. Semua tindak pidana media massa ini masuk kategori ta’zir, yakni hukuman yang tidak ditentukan kadarnya oleh syariah, kecuali pidana qadzaf (menuduh berzina) yang termasuk dalam kategori hudud (h.55).

Beberapa tindak pidana itu adalah melakukan provokasi (tahridh) (pasal 22-25), penghinaan (sabb) (pasal 25-27), memfitnah (iftira’) dan menuduh berzina ((qadzaf) (pasal 28-29), menyebarkan gambar porno atau gambar aktifitas seksual (pasal 30-31), dan menyebarkan berita bohong (pasal 32). Contoh pasalnya: Siapa saja yang di media memprovokasi publik agar tidak taat kepada Khalifah, dipenjara maksimal satu tahun (pasal 24), Siapa saja yang di media menghina tuhan tuhan atau akidah kaum kafir dzimmi, dipenjara maksimal enam bulan (pasal 27); siapa saja yang memfitnah di media, misalnya menuduh si Fulan koruptor atau menerima suap, dipenjara maksimal dua tahun, kecuali ada bukti buktinya (pasal 28); orang yang menyebarkan gambar porno di media, yaitu gambar (khususnya wanita) yang menampakkan lebih dari wajah dan dua telapak tangannya, dipenjara maksimal dua tahun (pasal 30).

Inilah gambaran singkat kitab karya Syaikh Ziyad Ghazzal. Dengan membacanya, kita akan dapat membayangkan betapa baiknya suasana dan kehidupan media massa yang ditata dengan syariah di Negara Khilafah nantinya. Media massa akan menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat, tanpa melarang unsure hiburan (entertainment) yang sehat dan syar’i. Tidak seperti sekarang, media massa telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai nilai Islam, dengan mengeksploitasi hiburan yang berlumuran dosa dan membejatkan moral. Na’udzu billah min dzalik. []

diambil dari rubrik Telaah Kitab Al Wa’ie No 98 Th IX, karya KH. Siddiq Al Jawi

Media dan Propaganda Teror

Masih segar dalam ingatan kita tatkala Indonesia menangis. Duka merebak dalam dada negeri yang terluka. Seperti lagu milik Slank, Jakarta meledak lagi, Jumat (17/7/09). Ledakan dahsyat di Mega Kuningan (Hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton) telah mengakibatkan 9 orang meninggal dunia dan lebih dari 50 orang luka-luka. Yang terbaru dan sensasional mungkin penyergapan teroris oleh Densus 88 di Temanggung. Dua stasiun televisi meliput eksklusif secara langsung, sayang pemberitaannya meleset. Bukan Noordin M Top yang dilumpuhkan seperti yang diberitakan, namun seseorang bernama Ibrahim. Media jadi ‘agen kekerasan online’.

Seperti biasa pers Barat segera menuding Jama’ah Islamiyah (JI) dibalik bom Marriot dan Carlton. Situs The Australian, Jumat (17/7) menuding dengan Headline “Jakarta hotel blasts kill seven, bear mark of Jemaah Islamiah”. ABC News mengkaitkan dengan al Qaida.

Hingga kini, arah pemberitaan media massa di Indonesia pun sudah tertuju pada JI sebagai pelaku pengeboman itu. Pengeboman itu segera mendapatkan liputan luas di dunia internasional dan memancing kecaman-kecaman dari dunia internasional: Australia, AS, Filipina, dan sebagainya. Bahkan kemudian, banyak negara menawarkan bantuan untuk membantu Polri menyelidiki pengeboman itu.

Analisis yang diklaim sebagai pakar yang selama ini dikenal miring terhadap kelompok Islam seperti Rohan Gunaratna Direktur International Center for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) di Nanyang Technological University Singapura langsung menuduh kelompok Islam. Menurut Gunaratna, pengeboman di Indonesia tidak akan berhenti sampai “pemimpin spiritual” JI, Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dan dipenjara. Tudingan yang sama disuarakan Sidney Jones dari ICG. Bahkan mantan Kepala BIN A.M. Hendropriyono ketika diwawancara TV One (29/07/09), mengatakan bahwa terorisme terkait dengan Wahabi radikal, yang merupakan lingkungan yang cocok bagi terorisme.

Media dan Propaganda Teror
Teori propaganda belakangan ini kembali menguak tatkala media memberitakan rentetan aksi-aksi bom yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri. Menarik diperbincangkan karena—oleh publik—media diharapkan mampu menguak berbagai misteri yang meliputi peristiwa-peristiwa tersebut, terutama siapa otak pelaku pengeboman tersebut. Minimal memberikan fakta-fakta yang menggiring keluarnya cahaya kebenaran. Namun tanpa sadar, banyak media malah ikut terpengaruh opini yang berkembang dan membebek common sense, Independensinya tergeser karena pragmatisme. Media massa akhirnya turut terjerumus dalam mempropagandakan teror atas nama agama. Isu teror jadi komoditas jualan media yang laris manis.

Karena biasa menilai media massa itu selalu netral, obyektif dan jujur, banyak orang mudah percaya dengan apa saja yang dibawa media massa. Padahal dalam kenyataannya, media massa bukanlah ‘malaikat’ pembawa berita yang tak pernah salah. Bahkan justru media sering terperangkap propaganda barat terkait masalah terorisme. Teror bom Mega Kuningan dipersepsikan media sebagai bagian dari menegakkan syariah, padahal hal itu sejatinya bertentangan dengan syariah. Syariat Islam dengan tegas melarang siapapun dengan motif apapun membunuh orang tanpa hak, merusak milik pribadi dan fasilitas milik umum.

Isu terorisme yang digulirkan media mendistorsi makna jihad. Seakan-akan jihad adalah kejahatan. Padahal sangat jelas dalam Islam, secara syar’i jihad adalah perang di jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimah-Nya. Jihad bukanlah kejahatan tapi kewajiban yang mulia. Tentu amal jihad harus mengikuti syarat, rukun, serta ketentuan-ketentuan syariah. Jihad antara lain dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh Islam yang membunuh kaum muslim.

Yang jangan dilupakan selama ini tindakan yang diklaim terorisme masih diliputi oleh misteri. Serangan WTC yang dijadikan Bush alasan Perang Melawan Terorisme hingga saat ini masih dipertanyakan siapa sebenarnya pelakunya. CIA dan badan intelijen lainnya telah diketahui umum terlibat dalam berbagai konspirasi melakukan interfensi untuk menghancurkan sebuah negara seperti di Iran, Honduras, dan Irak. Dokumen keterlibatan CIA dalam berbagai insiden politik di Indonesia seperti peristiwa September tahun 1965 juga telah banyak terungkap.

Artinya adalah sangat memungkinkan berbagai terror bom di Indonesia ditunggangi oleh kepentingan negara Imperialis. Tentu saja itu bisa dilakukan secara langsung ataupun tidak. Apalagi kalau dilihat dari siapa yang paling diuntungkan dalam ledakan bom ini, jelas adalah Amerika Serikat dan sekutunya. Ledakan bom yang terjadi di Indonesia justru dijadikan AS dan sekutunya sebagai alat dan propaganda untuk mengintervensi atas nama kerjasama perang melawan terorisme.

Penyesatan opini yang terjadi juga bagian dari propaganda. Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku; dengan menggunakan media massa. (Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184). Media yang terjebak opini hanya akan menjadi corong negara imperialis untuk merubah sikap, pendapat, dan perilaku masyarakat sejalan dengan kepentingan Barat.

Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Satrio Arismunandar menilai pemikiran insan media di Indonesia terkooptasi hegemoni asing. Menurutnya, walau ada beberapa media yang kritis, pada umumnya media massa betul-betul sangat mengandalkan dan mengikuti begitu saja penjelasan dari aparat keamanan. Tidak diverifikasi lagi, masuk akal atau tidak. “Jadi memang sedari awal sudah ikut arus sesuai apa yang diinginkan asing atau aparat keamanan. Atau bahkan media tersebut bekerjasama dengan mereka,” katanya (Tabloid Mediaumat, edisi 19, 21 Agustus – 3 September 2009).

Dalam buku The Fine Art of Prapaganda, Alfred McClung Lee & Alizabeth Briant Lee, 1939, dikemukakan beberapa teknis propaganda yang sering dilakukan untuk melakukan penyesatan opini.

Pertama; Nama julukan (name calling). Istilah muslim garis keras, radikal, ekstremis, moderat digunakan sebagai politik belah bambu oleh Barat. Sehingga umat Islam terpecah belah. Media yang terkooptasi seolah mendapatkan pembenaran untuk berani menyimpulkan sesuatu yang sebenarnya sumir. Misalnya mereka menggambarkan bahwa teroris itu adalah aktivis Islam, berasal dari pesantren, guru ngaji, orangnya berjenggot, istrinya berkerudung atau bercadar, dan sebagainya. Semua mengarah kepada stigmatisasi negatif terhadap Islam. Padahal di persidangan kasus terorisme menunjukkan tidak semua orang yang dianggap teroris memiliki ciri-ciri seperti itu.

Kedua; Generalitas gemerlapan (glittering generality). Teknik menghubungkan sesuatu dengan ‘kata yang baik’ dipakai untuk membuat sasaran menerima dan menyetujui sesuatu tanpa memeriksa bukti-bukti. Istilah demokratisasi dunia Islam adalah generalitas yang paling disukai oleh Barat, untuk mendukung ide kapitalismenya dalam menyekulerkan dunia Islam.

Ketiga; Pengalihan (transfer). teknik membawa otoritas, dukungan, gengsi dari sesuatu yang dihargai dan disanjung kepada sesuatu yang lain agar sesuatu yang lain itu lebih dapat diterima. Media tidak mengkritisi mengapa pengumuman hasil tes DNA Noordin M Top diumumkan persis pada hari Mahkamah Konstitusi (MK) menolak hasil gugatan kecurangan Pilpres. “Jadi seakan ada upaya pengalihan opini dari kecurangan pilpres. Rupanya upaya tersebut berhasil. Karena semua terfokus ke hasil DNA itu,” jelas Satrio Arismunandar, pendiri AJI yang juga mantan wartawan BBC.

Keempat; Orang sederhana (plain folks). teknik propaganda yang dipakai pembicara propaganda dalam upaya meyakinkan sasaran bahwa dia dan gagasan-gagasannya adalah bagus karena mereka adalah bagian dari ‘rakyat’. Sering terjadi kekeliruan. Pemerhati media, Arya Gunawan menyebut salah satu dosa media massa yaitu tidak mau mencari sumber berita alternatif atau konsentris pertama. Kian terlihat ketika mereka menampilkan narasumber yang itu-itu juga. Sebut saja Hendropriyono, Nasir Abbas, Al Chaidar, atau Suryadharma secara berulang-ulang. Kalaupun ada narasumber yang kritis, mereka tidak mendapatkan porsi yang layak.

Tidak berlebihan bila ada yang menyebut media massa jadi corong aparat. Ada petinggi sebuah stasiun televisi yang kini sedang naik daun memiliki hubungan kedekatan dengan Densus 88. ketika penggerebekan Azahari di Batu, Malang, tahun 2005, ia pula yang mendapatkan gambar eksklusif. Karena tekanan eksklusif demi rating, media massa tak segan-segan embedded. “Kacamatanya pasti kacamata yang ditumpangi kan? Tidak ada verifikasi, tak perlu investigasi, semua disuapi oleh narasumber dan ditelan mentah-mentah,” kata Sirikit Syah, pendiri Lembaga Konsumen Media (LKM) Media Watch.

Kelima; Kesaksian (testimony). Di sini dikemukakan seseorang atau lembaga yang dihargai untuk mendukung atau mengecam suatu gagasan atau kesatuan politik. Diharapkan sasaran mempercayainya karena hal ini disampaikan oleh yang ‘berwenang’. Propagandis, misalnya, menggunakan narasumber yang diberi gelar ‘pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan para pendengarnya.

Untuk menambah keyakinan pembaca tentang adanya jaringan Jamaah Islamiyah atau Jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, media massa Barat merujuk pada pendapat orang yang mereka sebut sebagai ‘pakar teroris’ seperti Rohan Gunaratma. Dia disebut ‘pakar’ antaralain karena melakukan studi tentang terorisme atau mengarang buku tentang terorisme. Di sini tidak dipersoalkan, apakah buku yang dikarangnya memberikan bukti-bukti ilmiah atau tidak. Demikian juga untuk menambah keyakinan pendengar tentang ‘pemahaman Islam yang benar’—maksudnya yang sejalan dengan kepentingan Barat, media massa Barat merujuk pada orang yang mereka sebut dengan ‘pakar Islam’ atau ‘cendekiawan Muslim. Padahal, yang dirujuk sering merupakan antek Barat yang dicangkokkan di tubuh umat. Di sini umat Islam penting untuk tetap melihat argumentasi dari ‘sumber-sumber’ tersebut, bukan terpesona dengan gelar-gelarnya.

Di samping itu, untuk menambah kepercayaan, media juga merujuk pada lembaga-lembaga swasta yang kesannya independen. Padahal, pada praktiknya, lembaga ini merupakan lembaga pesanan yang menjalankan proyek-proyek penelitian berskala besar dengan biaya pemerintah. Banyak studi-studi tentang Islam atau Timur Tengah yang disponsori oleh pemerintah AS atau organisasi donor yang berafiliasi kepada pemerintah AS. Lembaga-lembaga yang terkesan independen ini kemudian memperkuat pandangan pemerintah AS dan mereka kemudian menjadi rujukan media massa. Di Indonesia, sudah diketahui umum, pada masa Orde Baru, untuk memperkuat kebijakan pemerintah yang otoriter dan korup, penguasa sering merujuk pada CSIS. Padahal, CSIS adalah lembaga think tank yang diketahui berhubungan dengan penguasa Orba pada waktu itu. Dalam kampanye AS sekarang ini juga banyak lembaga-lembaga yang mendapat bayaran dari Barat untuk mendukung propaganda Barat. Di AS beberapa lembaga ‘independen’ diketahui memiliki hubungan erat dengan pemerintah seperti Heritage Foundation.

Keenam; Pilihan (card staking). meliputi pemilihan dan pemanfaatan fakta. Media tak memihak Islam. Ketika kaum muslim di Xinjiang, China, dibantai beberapa waktu lalu, pemberitaan media massa sangat minim. Padahal dari sisi jumlah korban, jauh lebih besar dari bom JW Marriot dan Ritz Carlton. Korban tewas versi pemerintah mencapai 200 orang. Perhatikan pula proporsi pemberitaan tentang penindasan Israel di Palestina yang berlangsung setiap hari. Atau serangan brutal AS di lembah Swat, Pakistan, dan juga Afganistan. Bandingkan pula hal itu dengan kasus terbunuhnya seorang pengunjuk rasa di Teheran yang demikian massif beritanya di media massa. Terorisme negara yang dilakukan oleh AS, Israel, dan Barat tak mendapat porsi pemberitaan yang memadai. Padahal korbannya jauh lebih luar biasa. Korban tewas akibat agresi AS di Irak mencapai 750.000 orang dan satu juta orang cacat. Puluhan ribu orang tewas di Afganistan. Hal yang sama terjadi di Palestina.

Ketujuh; Ikut pihak yang banyak (bandwagon). Teknik ini memanfaatkan keinginan pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’ dengan orang banyak. Politik stick and carrots yang digembar-gemborkan AS sebagai adikuasa internasional, ditelan mentah-mentah. Di belakang Amerika, atau di belakang teroris. Semua dipaksa harus sesuai dengan ideologi barat, termasuk insan pers yang belum paham Islam. Media menjadi agen dan corong dari agenda-agenda barat untuk melakukan counter dan penetrasi opini di tengah masyarakat.

Menyikapi hal ini, media massa harus lebih bijak, berimbang dan mengedepankan independensi serta selalu melakukan verifikasi. Diharapkan media menjadi pelopor dalam menguak kebenaran hakiki. Semoga. []

Oleh Rio An
Sumber: infokom HTi, Media Umat, Buku-buku Komunikasi Politik